Bulan Dzulhijjah atau Besar oleh masyarakat Jawa muslim dianggap bulan baik untuk menyelenggarakan acara pernikahan, karena itu banyak sekali yang menikah di bulan Besar. Para perias pun umumnya panen rezeki, juga para perangkai bunga, para penyedia sewa tratag, sound system, juru foto, pedagang sembako, catering hingga panatacara/MC akan laris manis.
Pada setiap acara resepsi pernikahan akan selalu terdengar kalimat yang menyatakan bahwa sang empunya hajat sedang "netepi darmaning asepuh amiwaha putra mahargya siwi". Tahukah Anda apa maksudnya? Orang tua memenuhi kewajibannya menikahkan anaknya, kira-kira begitu artinya.
Jika kita cermati sebenarnya tidak sesederhana itu, netepi darmaning asepuh artinya memenuhi/melaksanakan kewajiban orang tua. Amiwaha putra artinya me-'miwaha' anak. Mahargya siwi artinya mem'pesta-resepsi'kan anak. Jadi kewajiban orang tua dalam hal itu adalah me-wiwaha dan mem'pesta'kannya.
Apa itu wiwaha, miwaha, amiwaha ? Pawiwahan adalah upacara persaksian kehendak berumah tangga / bersuami istri di hadapan orang banyak dan di hadapan Tuhan. Suasana, rangkaian acara dan tempat berkumpulnya orang banyak untuk me-wiwaha juga disebut pawiwahan. Pawiwahan berisi upacara yang merubah status sang anak dari 'jomblo' menjadi bersuami istri, sedang pahargyan adalah pesta resepsi dimana para tamu dikasih tahu bahwa si anak telah menikah dan tentu saja makan-makan. Makan-makan inilah yang disebut walimah dalam ajaran Islam.
Amiwaha putra ternyata memuat 3 hal penting dalam kehidupan sang anak yang sedang meniti mahligai rumah tangga, yaitu pernikahan, perkawinan dan ngantenan. Apa bedanya???? Sepintas tak ada bedanya, bahkan mungkin jarang orang yang peduli memikirkannya.
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah, dari bahasa Arab. Asal-usulnya pun juga dari Arab dan menjadi bagian agama Islam, masuk ke Jawa dibawa ummat Islam. Cara-caranya pun biasa kita saksikan pakai bahasa Arab. Tanpa melalui proses nikah hubungan suami istri akan disebut zina yang haram dan berdosa.
Perkawinan dijelaskan maksudnya dalam UU Perkawinan 1974 pasal 1 dan 2. Kira-kira kesimpulannya perkawinan adalah pernikahan yang dicatat oleh petugas negara. Tanpa proses pencatatan oleh petugas pemerintah walau sudah menjalani akad nikah akan dianggap nikah siri dan hak-hak hukumnya tak akan dijamin negara.
Sedang kata ngantenan berasal dari bahasa Jawa sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa kata nganten berasal dari bahasa Arab 'anatain yang berasal dari kata 'anatun. ( 'anatun berarti rambut kemaluan, sedang 'anatain adalah bentuk tatsniyahnya ).
Perkawinan dijelaskan maksudnya dalam UU Perkawinan 1974 pasal 1 dan 2. Kira-kira kesimpulannya perkawinan adalah pernikahan yang dicatat oleh petugas negara. Tanpa proses pencatatan oleh petugas pemerintah walau sudah menjalani akad nikah akan dianggap nikah siri dan hak-hak hukumnya tak akan dijamin negara.
Sedang kata ngantenan berasal dari bahasa Jawa sendiri. Ada juga yang berpendapat bahwa kata nganten berasal dari bahasa Arab 'anatain yang berasal dari kata 'anatun. ( 'anatun berarti rambut kemaluan, sedang 'anatain adalah bentuk tatsniyahnya ).
Pernahkah Anda berpikir, bagaimana zaman dulu caranya orang Jawa menikah sebelum ada tatacara pernikahan? Ternyata caranya adalah 'dhaup' yang berupa upacara PANGGIH. Orang yang sedang melaksanakan upacara panggih disebut nganten atau temanten, peristiwanya disebut ngantenan. Walau mempelai sudah melaksanakan akad nikah dan dicatat petugas yang ditunjuk negara (penghulu) kalau belum melaksanakan upacara panggih tidak dapat disebut nganten, jadi tidak bisa dibilang ngantenan. Itulah sebabnya pada saat upacara panggih akan dilangsungkan walau kedua mempelai sudah menikah dan sah menurut agama dan negara tetapi oleh MCnya masih disebut 'calon temanten'.
Urut-urutan upacara panggih itu sama sekali beda dengan urut-urutan upacara nikah. Jika dalam nikah yang ber'transaksi' adalah mempelai pria dengan mertua-nya, lain halnya dengan upacara panggih, mempelai pria dengan mempelai wanita harus berhadapan langsung, bahkan tidak diperlukan kata-kata karena mereka mengikat janji melalui simbol daun sirih yang digulung, diikat dengan benang kemudian ditukar atau saling lempar.
Sekarang acara-acara seperti itu walau marak dan meriah tapi umumnya sudah tanpa penghayatan. Seperti karnaval saja, mempelai didandani sedemikian rupa dengan biaya yang besar, tapi upacaranya???? Jarang sekali yang tahu maksudnya, mempelai sendiri melaksanakan ritual panggih itu bagaikan robot, bahkan sang juru rias yang menjadi Ibu Juru Sumbaga (fasilitator upacara panggih atau dukun-nganten) belum tentu tahu akan maksudnya.
0 engkang sampun komentar:
Posting Komentar