Saya tertarik untuk menuliskan pandangan orang-orang di tengah masyarakat, terutama masyarakat sekitar tempat tinggal saya, tentang upacara adat panggih pengantin. Sebagai panatacara di kampung tentu punya tugas mensukseskan acara perkawinan sebagus dan seindah mungkin, karena itu panatacara giat belajar dan berlatih bagaimana memandu upacara adat panggih. Dalam pandangan panatacara tentu upacara panggih itu menjadi sesuatu yang baik, bagus, bahkan sakral, tapi apakah semua orang dalam masyarakat sepakat ? Kenyataannya tidak, karena itulah saya tulis di sini agar panatacara punya dasar berjiwa besar menanggapi perbedaan pendapat.
Adalah menyenangkan jika sebagai panatacara berada di tengah-tengah masyarakat yang 100% setuju dengan adanya upacara adat panggih, kemampuan ke-panatacara-an-nya bisa disalurkan secara maksimal, hasil belajar dan berlatih betul-betul berguna tak sia-sia. Tapi jangan kaget ataupun marah jika mendapati beberapa orang atau bahkan sebagian besar warga masyarakat ada yang tidak setuju. Jangankan banyak orang, satu orang yang bersikap anti saja bisa membuat ada rasa tidak enak, bahkan bisa mengacaukan acara, misalkan tadinya keluarga sudah sepakat mau diadakan pahargyan lengkap dengan upacara panggih, sampai pada saat pelaksanaan datang seorang tokoh dalam keluarga besarnya ngatur, bikin acara baru mendadak karena tidak setuju kalau pakai upacara adat segala, bahkan disertai marah-marah sambil ndalil-ndalil segala. (Ndalil maksudnya baca dalil dasar agama, ayat Qur'an atau Hadits). Perubahan mendadak macam ini bisa bikin panatacara stress mendadak, marah, atau bahkan geram.
Sikap anti upacara panggih biasa didapati pada orang-orang yang berlatar belakang suka ngaji (pengajian) tanpa disertai belajar budaya lokal. Setiap hari yang dimasukkan ke otak hanya melulu tata cara kehidupan Arab masa lalu (zaman Nabi dan sahabat). Mereka tidak tahu upacara adat panggih itu apa, berhubung upacara panggih itu tidak ada dalam kehidupan Nabi maka dianggap batil (=salah), "bid'ah yang menyesatkan", atau dianggap "adat jahiliyah". Upacara panggih hanya dianggap acara 'dolanan' (=main-main) yang makan biaya. Seindah apapun acaranya, kalau sudah didasari rasa tidak setuju, ya ibarat pepatah "teh pun akan dibilang hangus".
Sikap pro upacara adat justru biasa datang dari orang luar, misalnya ada pria dari luar Jawa (bukan suku Jawa) meminang perempuan Jawa, malah biasanya ingin dirias ala keprabon pakai kuluk kanigara lengkap dengan upacara adatnya, padahal yang anak-anak lokal kebanyakan malah ogah, malu, gengsi, dsb. Inilah kecenderungan adat budaya Jawa, indah menarik bagi orang luar, dihargai dan dipuji di manca negara, sedang orang dalam (orang-orang Jawa sendiri) tidak sedikit yang mengabaikannya, melupakannya, bahkan memusuhi, ingin membuang dan menggantinya dengan budaya luar.
Sebagai seorang panatacara kampung, sikap mana yang akan diambil ? Sepertinya mensyukuri setiap keadaan adalah yang paling enak. Sejak zaman dahulu manusia sudah didesain untuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Satu sama lain didesain berbeda agar bisa saling mengenal. Orang Jawa tetap orang Jawa, mengganti budaya dengan budaya Arab tidak akan merubah warna kulit, bentuk hidung dan wajah jadi Arab. Tak ada salahnya bersyukur pada Tuhan karena telah dijadikan orang Jawa. Caranya ? Ya apa adanya jadi orang Jawa, bicara bahasa Jawa, berbudaya Jawa, beradat-istiadat Jawa, karena Dia sendiri yang mentakdirkannya.
Jika kita mau berpikir jernih, membuka diri dan bersikap objektif, akan nampak sekali kalau sesungguhnya upacara adat pengantin Jawa itu sebenarnya sangat indah, ya... sangat indah, di sana perempuan ditempatkan pada derajat yang sangat terhormat. Untuk menjadi suami istri sah harus melalui proses panggih, dimana keduanya saling bertemu langsung, berhadapan langsung, saling menyatakan kebulatan tekad untuk berada dalam ikatan rumah tangga, dan itu dilakukan tanpa perantara..... Bandingkan dengan tatacara syariat Islam di tengah kita, andai tak ada campur tangan negara (pemerintah) mungkin saja seorang gadis saat pulang sekolah atau pulang kerja mendapati dirinya telah sah menjadi istri orang......, sebab akad nikah adalah pernyataan seorang wali yang menyerahkannya kepada seorang pria dengan mahar tertentu dan kemudian diterima oleh pria tersebut.... jujur saja bukankah secara fiqih akad nikah tanpa kehadiran mempelai wanita itu sah? Mirip jual beli barang kan? Sedangkan pada upacara adat panggih tentu tak bisa demikian. Wallahu-a'lam...
0 engkang sampun komentar:
Posting Komentar