Salah satu kitab (buku bertulisan Arab) yang sangat populer di kampung adalah kitab Al Barzanji. Sebagai bacaan bisa dikatakan menempati urutan kedua setelah Al Qur'an, bacaan dalam arti seni baca, bukan membaca untuk mengerti isi. Ada kaidah tersendiri saat membacanya, ada ketrampilan tersendiri saat melantunkannya.
Membaca Barzanji punya irama tersendiri, berdendang melantunkan bait-bait prosa lirik dengan selingan-selingan nyanyian shalawat. Uraian lebih lanjut dapat dibaca di sini. Artikel tentang Barzanji di internet umumnya merupakan kritik pedas. Walau begitu kegiatan baca Barzanji (=berjanjen) tetap eksis tak pernah surut. Bulan Rabi'ulawal (Maulud) tanggal 1 sampai 12 merupakan saat-saat ramai orang baca Barzanji. Juga pada acara pengajian-pengajian selapanan biasa dimulai dengan baca Barzanji. Di setiap keluarga tiap kali ada bayi diberi nama (acara puputan) juga dibacakan Barzanji.
Orang-orang di kampung 'dituntut' untuk mampu membacanya, mendendangkannya. Dalam setiap kampung 'harus ada' yang mampu melakukannya karena merupakan bagian penting dalam upacara-upacara. Anak kampung yang tidak mampu membacanya akan dapat cemoohan, saru.
Di pihak lain ada juga yang mengkritik habis-habisan adat baca Barzanji ini, walau begitu pada saat punya bayi dan mengadakan acara puputan toh tunduk juga pada adat yang telah berlaku turun-temurun. Kalau puputan kok nggak mau baca Barzanji lantas mau apa? Bengong masyarakatnya tentu. Membaca Barzanji merupakan tatacara adat yang katakanlah semacam basa-basi, jika ditinggalkan bisa menjadi 'salah', rangkaian acara bisa kacau. Orang yang mengkritik biasanya pada masalah isi (makna) dan baru sebatas mengkritik, belum menyediakan tatacara penggantinya, sementara di kampung umumnya 99,9999% yang baca maupun yang mendengarkannya nggak ngerti isinya.
Ada beberapa macam Barzanji yang tersedia, Natsar, Diba', Syaraful Anam, Burdah, dsb. Yang paling populer di kampung saya adalah Natsar. Kalau yang baca pinter biasanya juga mengkombinasikannya dengan yang lain. Mampu baca Natsar saja di kampung saya sudah memadai, itupun tak harus semua 'attiril dibaca, karena kelamaan juga membosankan. Biasanya bacaan dimulai dengan dendang shalawat yang diambil dari Diba', kemudian dilanjutkan 'attiril pertama hingga srokal. Setelah srokal ini cenderung bebas, ada yang terus ditutup baca bagian Do'a, ada yang baca satu 'attiril terakhir terus Do'a, ada yang baca beberapa 'attiril baru Do'a. Yang baca keseluruhan mungkin hanya para mania barzanji saja. Sedang untuk bagian Do'a biasanya dibaca oleh yang dianggap pinisepuh. Kadang-kadang doanya juga tidak doa dalam kitab itu, alasannya 'kacamatanya ketinggalan'.
Mampu membaca Barzanji merupakan asset SDM di kampung yang berhubungan erat dengan kemampuan panatacara. Karena itu alangkah baiknya panatacara kampung juga mampu membaca Barzanji, setidak-tidaknya sebagai bagian kesenian yang sudah baku, kan tidak mungkin saat puputan bayi mengganti barzanjinya dengan nyanyi campursari ataupun dangdut.
Membaca Barzanji dapat menjadi alternatif dalam masyarakat, misalnya untuk mengumpulkan hadirin saat mau pengajian, bahkan pernah pula saya jumpai dalam pesta pernikahan. Sebuah keluarga yang tergolong kurang mampu, saat pernikahan, akad nikahnya dilangsungkan di KUA, setelah itu keluarga tsb masak-masak seperti mau kenduri, lalu para tetangga diundang untuk berjanjen (baca Barzanji), sebelum mulai disampaikanlah pidato singkat Pambagyaharja yang menyatakan bahwa sang anak telah menikah serta mohon doa restu, dan setelah selesai berjanjen disajikan makanan sekedarnya untuk walimahan. Begitulah pahargyan temanten yang paling sederhana yang saya tahu.
0 engkang sampun komentar:
Posting Komentar