Senin, 28 Maret 2011

Grogi

Grogi hampir sama dengan minder, jika di depan orang banyak mental kita turun dikatakan saat itu kita sedang grogi. Gejalanya antara lain : kaki gemetar, tangan gemetar, jantung berdebar lebih keras, keringat keluar, suara tersendat, suara gemetar, suhu tubuh meningkat, ingatan menghilang, pikiran jadi kosong, terasa mau kencing, ngoplok, mrotholi, nggregeli, dsb. Atau bahkan grogi itu sudah muncul jauh sebelum tampil, acara belum dimulai dada sudah berdebar, otak mulai kosong, otot-otot melemas, dsb. Kadang pula ada yang malam sebelum tampil sudah dilanda grogi duluan, bisa jadi semalaman tidak bisa tidur gara-gara besok siangnya mau tampil di depan umum.

Bagi yang belum terbiasa tampil di depan umum grogi adalah hal yang umum, wajar, juga merupakan peristiwa alami. Jika kita belajar tampil di depan umum, lalu kita mengalami grogi, itu hal yang wajar, itu merupakan tolok ukur bahwa kita belum terbiasa tampil, karena satu-satunya cara menghilangkan grogi adalah biasa melakukan hal yang membuat grogi. Memang ada cara sugesti pada diri sendiri agar berani, juga ada bacaan doa agar tidak grogi, dimana hal-hal itu dilakukan sebelum tampil, tapi hal-hal itu tidaklah berarti jadi tidak pernah mengalami grogi, bisa saja kita sudah melaksanakannya tapi saat tampil ternyata grogi masih terjadi. Lantas jika sudah terlanjur grogi kita mesti bagaimana ? Ya jalan saja terus, nanti groginya hilang sendiri. Jika kita tampil di depan umum lalu mengalami grogi, jangan kapok, jangan mundur, jangan patah semangat, dapatkan kesempatan mencoba lagi, tiga kali tampil masih grogi - tampil lagi sepuluh kali. Lama-lama grogi akan hilang sendiri. Mungkin kita jadi malu karena ditertawakan, tapi yakinlah kalau orang yang menertawakan itu belum tentu lebih baik daripada yang ditertawakan.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi grogi agar tidak terlalu mengganggu, yaitu dengan menjaga hati kita agar dalam kondisi nyaman atau pede, contohnya berpakaian yang baik sesuai keadaan, ada uang di saku (walaupun cuma duit pinjaman), ada rokok di saku bila perokok, bertemu dan bersalaman dengan sebanyak mungkin orang, dan bahkan meninggalkan keluarga yang di rumah dalam kondisi baik. Contoh yang terakhir ini diajarkan oleh salah seorang guru saya, jika beliau akan tampil bicara di tempat orang punya hajat maka keluarganya terlebih dahulu difasilitasi masakan yang lebih istimewa dari biasa, maksudnya karena di dalam resepsi itu makannya makanan enak maka bisa saja bikin ingat keluarga yang di rumah, perbedaan derajat makanan itu bisa membuat hati gelisah yang terbawa saat tampil dan mengakibatkan grogi. Jika keluarga di rumah juga makan enak maka tak akan ada perasaan bersalah yang muncul yang mempengaruhi penampilan.
Untuk itu pula ada sebagian orang di kampung yang pangerten (=pengertian), jika punya hajat maka keluarga orang-orang yang diminta tampil bicara di depan umum itu dipunjung makanan yang bisa cukup untuk sehari.

Apa yang perlu dilakukan di depan orang banyak agar tidak grogi? Seorang guru saya mengajarkan agar sebelum mulai bicara bernafas panjang dulu, pandang sebanyak mungkin orang dulu dengan pandangan hormat dan komunikatif, lihat orang-orang itu bukan pada mata ataupun wajahnya, tetapi atas kepalanya kira-kira sejengkal, jadi walau kelihatannya kita itu memandang wajahnya tapi sebetulnya tidak. Lalu berdirinya ngapurancang dengan baik, jika kemudian terjadi kaki gemetar maka bisa digunakan trik berat tubuh diletakkan pada kaki yang gemetar itu, jika sudah normal kembali seimbangkan kedua kaki. Dan tentu saja sikap santun di depan orang itu dengan sendirinya punya fungsi menghilangkan grogi.

Menjadi panatacara pemula tak ada salahnya membawa teks saat tampil, berhubung jika tampil masih suka grogi dimana ingatan pada hafalan bisa saja menghilang, maka akan lebih baik pakai teks saja demi suksesnya acara, sambil terus menerus tingkatkan penguasaan materi tanpa melihat teks. Kalau perlu tandai bagian-bagian teks untuk memudahkan mata untuk menyontek, saat ingatan menghilang tak perlu kita berlama-lama dalam kebingungan. Biar saja grogi, yang penting acara lancar. Lihat saja upacara bendera di sekolah, baca Pancasila dan UUD '45 dari dulu sampai sekarang tetap baca teks, upacara jadi lancar dan tepat waktu. Bandingkan dengan acara yang sedang dijadikan ajang praktek panatacara. Jadi tenang saja menyontek saat manatacara, (pak guru nggak bakalan marah, hehehe...), toh kita masih pemula
Minggu, 20 Maret 2011

Blandong



Blandong, iku yen ing boso indonesia artine kamar mandi, Blandong iku kamar mandine wong ndeso, jaman mbiyen blandong iku panggone ono ing njobo omah, ora ono blandong sing nang njero omah, kamar mandine wong ndueso iki ora ono gendeng'e dadi nduwure blak-blak'an tanpo atap sing nutupi, duwure tembok biasane yo mung sak dodo kadang malah ora ono sak dodo.

Wektu iku aku ono ing nduwur andang, andang iku ondo sing digawe songko pring gunane kanggo menek naliko pasang boto ing bangunan. wayah iku hawane panas banget, naliko aku pasang boto ing nduwur andang, ora sengojo mataku ndeleng ngesor arah blandong, ujug-ujug hawane langsung mak nyessss... ono cewek lagi adus, udo ora klambenan, deskripsi lengkape disensor, sing jelas yen songko ngesor mungkin mung ketoro sak dodo menduwur, lha tapi yen songko nduwur ngene iki yo mesti ketoro sak sembarange to....

Kudune wong iku ngerti yen saben dino ono wong kerjo ing bangunan sebelah, tapi nyapo kok nekat awan-awan malah adus? sopo sing salah? sing ndelok? opo sing didelok?

Ahh...dianggep rejeki wae, lha wong aku yo ora sengojo lho...kardene nolak rejeki kan yo ora apik to...

Aku maleh eling dawuhe Kyai Segawon, "Jangan melihat seseorang itu hanya dari luarnya saja". Ternyata ini to hikmahnya, lumayan.....he he he....
Jumat, 11 Maret 2011

Ngapurancang

Ngapurancang adalah sikap berdiri dimana tangan berada di bawah pusar, kaki direnggangkan, sikap santai disertai rasa hormat. Jika tangan yang di bawah pusar tadi tangan kanannya dipegang dengan tangan kiri maka disebut "ngapurancang", tetapi jika tangan kiri yang dipegang dengan tangan kanan disebut "sedakep".

Berdiri ngapurancang adalah sebuah sikap yang ajaib. Jika kita berhadapan dengan orang-orang terhormat, lebih-lebih saat berpidato di depan umum, mungkin sekali akan mengalami grogi atau demam panggung. Tetapi dengan berdiri ngapurancang yang benar, secara ajaib grogi itu bisa banyak berkurang, rasa percaya diri bisa muncul, dan melalui berdiri ngapurancang pula kita bisa bersikap takzim (hormat) secara tulus kepada siapa yang kita mau.

Berdiri ngapurancang merupakan sikap standby yang efektif. Saat melakukannya, kedua kaki direnggangkan sedikit dengan beban seimbang, jika tidak imbang biasanya grogi mudah datang, karenanya jika di depan umum groginya muncul coba saja dicek kakinya sudah imbang belum, jika masih grogi juga coba dicek tangan kanannya sudah dibawah pusar dipegang dengan tangan kiri apa belum. Jika masih grogi juga ? Kali aja memang punya sifat "wedi uwong".
Rabu, 09 Maret 2011

Upacara Adat dalam polemik

Saya tertarik untuk menuliskan pandangan orang-orang di tengah masyarakat, terutama masyarakat sekitar tempat tinggal saya, tentang upacara adat panggih pengantin. Sebagai panatacara di kampung tentu punya tugas mensukseskan acara perkawinan sebagus dan seindah mungkin, karena itu panatacara giat belajar dan berlatih bagaimana memandu upacara adat panggih. Dalam pandangan panatacara tentu upacara panggih itu menjadi sesuatu yang baik, bagus, bahkan sakral, tapi apakah semua orang dalam masyarakat sepakat ? Kenyataannya tidak, karena itulah saya tulis di sini agar panatacara punya dasar berjiwa besar menanggapi perbedaan pendapat.

Adalah menyenangkan jika sebagai panatacara berada di tengah-tengah masyarakat yang 100% setuju dengan adanya upacara adat panggih, kemampuan ke-panatacara-an-nya bisa disalurkan secara maksimal, hasil belajar dan berlatih betul-betul berguna tak sia-sia. Tapi jangan kaget ataupun marah jika mendapati beberapa orang atau bahkan sebagian besar warga masyarakat ada yang tidak setuju. Jangankan banyak orang, satu orang yang bersikap anti saja bisa membuat ada rasa tidak enak, bahkan bisa mengacaukan acara, misalkan tadinya keluarga sudah sepakat mau diadakan pahargyan lengkap dengan upacara panggih, sampai pada saat pelaksanaan datang seorang tokoh dalam keluarga besarnya ngatur, bikin acara baru mendadak karena tidak setuju kalau pakai upacara adat segala, bahkan disertai marah-marah sambil ndalil-ndalil segala. (Ndalil maksudnya baca dalil dasar agama, ayat Qur'an atau Hadits). Perubahan mendadak macam ini bisa bikin panatacara stress mendadak, marah, atau bahkan geram.

Sikap anti upacara panggih biasa didapati pada orang-orang yang berlatar belakang suka ngaji (pengajian) tanpa disertai belajar budaya lokal. Setiap hari yang dimasukkan ke otak hanya melulu tata cara kehidupan Arab masa lalu (zaman Nabi dan sahabat). Mereka tidak tahu upacara adat panggih itu apa, berhubung upacara panggih itu tidak ada dalam kehidupan Nabi maka dianggap batil (=salah), "bid'ah yang menyesatkan", atau dianggap "adat jahiliyah". Upacara panggih hanya dianggap acara 'dolanan' (=main-main) yang makan biaya. Seindah apapun acaranya, kalau sudah didasari rasa tidak setuju, ya ibarat pepatah "teh pun akan dibilang hangus".

Sikap pro upacara adat justru biasa datang dari orang luar, misalnya ada pria dari luar Jawa (bukan suku Jawa) meminang perempuan Jawa, malah biasanya ingin dirias ala keprabon pakai kuluk kanigara lengkap dengan upacara adatnya, padahal yang anak-anak lokal kebanyakan malah ogah, malu, gengsi, dsb. Inilah kecenderungan adat budaya Jawa, indah menarik bagi orang luar, dihargai dan dipuji di manca negara, sedang orang dalam (orang-orang Jawa sendiri) tidak sedikit yang mengabaikannya, melupakannya, bahkan memusuhi, ingin membuang dan menggantinya dengan budaya luar.

Sebagai seorang panatacara kampung, sikap mana yang akan diambil ? Sepertinya mensyukuri setiap keadaan adalah yang paling enak. Sejak zaman dahulu manusia sudah didesain untuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Satu sama lain didesain berbeda agar bisa saling mengenal. Orang Jawa tetap orang Jawa, mengganti budaya dengan budaya Arab tidak akan merubah warna kulit, bentuk hidung dan wajah jadi Arab. Tak ada salahnya bersyukur pada Tuhan karena telah dijadikan orang Jawa. Caranya ? Ya apa adanya jadi orang Jawa, bicara bahasa Jawa, berbudaya Jawa, beradat-istiadat Jawa, karena Dia sendiri yang mentakdirkannya.

Jika kita mau berpikir jernih, membuka diri dan bersikap objektif, akan nampak sekali kalau sesungguhnya upacara adat pengantin Jawa itu sebenarnya sangat indah, ya... sangat indah, di sana perempuan ditempatkan pada derajat yang sangat terhormat. Untuk menjadi suami istri sah harus melalui proses panggih, dimana keduanya saling bertemu langsung, berhadapan langsung, saling menyatakan kebulatan tekad untuk berada dalam ikatan rumah tangga, dan itu dilakukan tanpa perantara..... Bandingkan dengan tatacara syariat Islam di tengah kita, andai tak ada campur tangan negara (pemerintah) mungkin saja seorang gadis saat pulang sekolah atau pulang kerja mendapati dirinya telah sah menjadi istri orang......, sebab akad nikah adalah pernyataan seorang wali yang menyerahkannya kepada seorang pria dengan mahar tertentu dan kemudian diterima oleh pria tersebut.... jujur saja bukankah secara fiqih akad nikah tanpa kehadiran mempelai wanita itu sah? Mirip jual beli barang kan? Sedangkan pada upacara adat panggih tentu tak bisa demikian. Wallahu-a'lam...